Ketika hutan disulap menjadi perkampungan; yang seharusnya menjadi tempat berlindung puluhan bahkan ratusan jenis satwa, kini berganti menjadi rumah bagi ribuan manusia. Ketika hutan disulap menjadi kebun; yang semestinya tempat tumbuh tingginya pohon-pohon langka, sekarang, sejauh-jauh mata memandang, yang terlihat hanyalah hamparan tanaman sawit.
Begitulah gambaran Dusun Toro Jaya, yang masuk wilayah administrasi Desa Lubuk Kembang Bungo, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan. Dusun ini disebut-sebut berada dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Jika mengacu kepada aturan, tak boleh ada perkampungan di sana. Warga harus meninggalkan TNTN.
Tapi ini menjadi dilema. Kehidupan warga yang jumlahnya mencapai 5.000 jiwa, sudah terlanjur berkembang pesat di sini. Sosial, ekonomi, pendidikan, bahkan struktur pemerintahan terendah, tersusun dengan apiknya. Meski pembangunan fisik tak bisa disentuh uang negara, tapi fasilitas di kampung ini bisa tercipta dengan swadaya. Warga kompak untuk membangun dusun mereka dengan sekuat tenaga, walaupun hasilnya tak secantik yang dibuat pemerintah.
Pada Selasa (23/1/2018) lalu, kami (tim liputan Riau Pos), memasuki Dusun Toro Jaya. Jika dari Pekanbaru, akan memakan waktu 5 jam. Riau Pos masuk dari Desa Gunung Sari, Kecamatan Gunung Sahilan, Kampar. Dari desa ini, tidak lagi melewati jalan aspal. Hanya jalan tanah pengerasan yang berada di dalam kawasan konsesi PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).
Cukup lama perjalanan yang ditempuh di kawasan RAPP ini. Menggunakan kendaraan roda empat, kami memakan waktu sekitar 2 jam perjalanan. Ada tiga pos pengamanan yang dijumpai. Setiap pos, petugas yang berjaga, selalu mencatat identitas pengemudi dan nomor polisi kendaraan.
Pada pos ketiga yang menjadi pos terakhir, petugas jaga menanyakan tujuan kami. “Mau ke mana Pak?,” tanya petugas yang mengenakan seragam dongker itu. Menjawab pertanyaan itu, kami mengaku bahwa akan ke Dusun Toro Jaya. “Oh, mau ngambil lahan ya Pak?,” sahut petugas itu menerka maksud kami ke Dusun Toro Jaya.
Pernyataan petugas itu, seolah dia tahu, bahwa di Toro Jaya adalah lahan perkebunan. Wajar saja jika ada orang asing yang datang, dia langsung menerka, yang tak lain tujuannya untuk membeli lahan kebun atau sekadar menengoknya. Tak menjadi rahasia lagi, di kawasan TNTN bukanlah hutan seperti yang dipikirkan.
Tak sempat menanggapi terkaan itu, petugas pos jaga tersebut langsung menimpalnya dengan menunjukkan arah jalan ke Dusun Toro Jaya. “Nanti jumpa simpang, itu namanya Simpang Kampar. Belok kiri, terus saja jalan. Di sana, coba tanya lagi ke warga,” katanya seraya mempersilakan kami untuk melanjutkan perjalanan.
Sekitar 4 kilometer dari pos penjagaan terakhir itu, ternyata kami sudah meninggalkan kawasan RAPP. Pohon-pohon yang menjadi bahan baku kertas itu, tak dijumpai lagi. Sisi kiri dan kanan jalan, mulai ditemui kebun sawit dan karet.
Sebelum memasuki Dusun Toro Jaya, berdiri sebuah pos penjagaan. Ini adalah gerbang masuk kampung itu. Di dalam bangunan dinding papan yang berukuran 2×3 meter itu, terlihat dua orang pemuda berbadan kekar yang sedang berjaga. Namun pintu palang di pos terbuka saja. Kami bisa masuk dengan bebas. Kendaraan tak dihentikan.
Klakson dibunyikan, tepat di depan pos jaga. Dari balik jendela, dua pemuda itu mengamati siapa yang ada di dalam mobil. Namun mereka hanya melemparkan senyuman dan sedikit menganggukkan kepala. Ini menjadi isyarat, mereka mempersilakan untuk masuk.
Kami mulai menjelajahi dusun itu. Kendaraan berjalan dengan perlahan. Dari pintu masuk itu saja, sudah ramai terlihat warga. Kiri kanan jalan, berdiri rumah-rumah penduduk. Ada yang rumah semi permanen, ada juga rumah permanen. Namun umumnya, rumah dibangun semi permanen. Lantai semen, dinding papan, dan atap seng. Desainnya sederhana.
Sekitar 1 kilometer pintu masuk dusun, rumah-rumah penduduk semakin banyak ditemui. Bangunan rapat-rapat berdiri. Jarak antara rumah hanya sekitar 5 meter. Kalau diperkirakan, di titik itu saja ada sekitar 150 rumah.
Aktivitas warga juga sibuk di sini. Kendaraan yang kebanyakan roda dua, mondar-mandir di jalan yang masih tanah itu. Semacam pasar. Ada yang berdagang kebutuhan harian, ada toko pupuk, bengkel, tempat cucian kendaraan, toko seluler, dan ada pula yang sekadar berdagang kaki lima. Menggelar sebuah meja, menjual bermacam jenis sayur dan buah-buahan.
Begitu juga dengan fasilitas umum. Untuk transportasi, warga tak hanya mengandalkan kendaraan pribadi. Di dusun itu, sudah ada sebuah terminal bus. Setiap hari, ada Bus PMH ukuran besar yang keluar masuk. Bus ini sengaja menjemput dan mengantar warga trayek Toro Jaya-Medan. Setidaknya, seperempat bus, sudah diisi dengan penumpang dari Toro Jaya.
Begitu juga dengan tempat ibadah. Setidaknya, ada tiga musala yang bediri di dusun itu. Sedangkan gereja, ada empat. Fasilitas pendidikan juga ada. Mulai dari PAUD, SD, hingga SMP. Meski sekolah-sekolah yang berdiri ini hanyalah kelas jauh dan bangunannya semi permanen, namun jumlah siswanya tak kalah banyak dengan sekolah di luar sana. Terhitung ada ratusan muridnya.
Kalau ada warga yang sakit, di sini juga sudah berdiri pusat kesehatan desa (puskesdes). Bangunannya juga masih semi permanen. Fasilitasnnya terbatas. Dokter tak ada. Hanya ada bidan kampung, yang juga warga Dusun Toro Jaya.
Saat kami melihat-lihat kondisi dusun itu, tak sedikit warga yang berpapasan. Mereka sadar bahwa ada orang asing masuk ke kampung. Namun, itu tak menjadi persoalan bagi mereka. Warga tak menutup kedatangan orang luar. Buktinya, mereka ramah saja. Tegur sapa selalu tercipta. Meski tak saling kenal, senyum atau sekadar anggukan kepala, selalu kami terima dari warga. Ini sekaligus membantah kabar yang beredar di luar, bahwa warga Toro Jaya tak bersahabat dengan orang asing yang masuk.
Di dusun itu, kami berjumpa dengan salah seorang warga. Saat mempernalkan diri, pria 40-an tahun itu mengaku namanya adalah Sinaga. Tak lama perkenalan itu berlangsung, rasanya sudah begitu akrab. Senda gurau, canda tawa, mengalir begitu saja.
Ternyata, pria berbadan sedang ini, adalah Ketua RT 05, RW 01, Dusun Toro Jaya. Tempat keramaian saat kami berjumpa dengan Naga, bukanlah wilayah administrasinya. RT 05 berjarak sekitar 5 kilometer dari lokasi itu. Kalau berkendara, akan memakan waktu 50 menit lagi. Memang lama perjalan ditempuh. Ini tak terlepas dari kondisi jalan tanah yang berlubang-lubang. Tak bisa membuat kendaraan melaju dengan cepat.
“Ayo kita keliling Toro,” ajak Naga. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Itu benar yang diinginkan. Kami pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tawaran Naga, langsung diiyakan.
Sepanjang perjalanan, Naga bercerita panjang tentang pengalaman pribadinya. Mulai sejak dia bersekolah, hingga tumbuh dewasa. Hingga akhirnya pembicaraan Naga sampai pada sejarah mulanya dia bisa berada di Dusun Toro. “Saya di sini sudah sekitar dua tahun,” katanya.
Dia tak pernah berpikir sebelumnya, kalau dia akan menetap di Toro. Naga seolah tersesat. Awalnya dia tidak tahu, bahwa tanah yang dia tempati adalah kawasan larangan. “Dulu diajak sama keluarga ke sini untuk buka kebun,” kata dia. Ajakan itu diterimanya. Dia bersama anak istrinya, pindah ke Toro Jaya.
“Saya jual tanah dan rumah di kampung. Pindah ke sini, dan buka lahan,” kata dia. Naga pun enggan menyebutkan berapa lahan kebun sawit yang dikuasainya. Dia juga tak mau bercerita kepada siapa tanah itu dibelinya. Yang jelas, dia dulunya mengira itu adalah lahan yang boleh dijadikan kebun.
“Rata-rata warga di sini juga begitu. Dijual hartanya di kampung, lalu pindah ke sini mencari kehidupan baru. Ya, niatnya untuk merubah nasib,” ujar Naga.
Tiba-tiba, Naga meminta untuk menepikan kendaraan. Dia mengajak kami untuk keluar dari mobil. Terlihat, Naga menuju sebuah bukit. Kami pun mengikutinya. “Ini namanya Bukit Mungkar Nangkir,” kata Naga, saat berada di puncak bukit itu. Tepatnya pada titik koordinat 0°14’49.6”S 101°49’15.5”E. Bukit tersebut masuk ke wilayah administrasi RT yang dipimpin Naga.
Di puncak ini, angin menghembus begitu kencang. Barangkali, inilah daratan yang paling tinggi di kawasan Toro Jaya. Betapa tidak, semuanya tampak dari sini. Sekeliling Toro Jaya terlihat. Sejauh-jauh mata memandang, hanya kebun sawit yang terlihat. Tak tampak satu batang pun pohon yang lumrah tumbuh di dalam hutan. “Mana hutan di sini? Nggak ada kan. Semuanya adalah kebun sawit,” kata dia.
Di Bukit Mungkar Nangkir ini juga kata Naga, tempat terjalinnya komunikasi dengan dunia luar. Sebab, di sini menjadi salah satu tempat untuk bisa mendapatkan sinyal atau jaringan seluler. “Kalau mau menelepon, atau main facebook, di sini bisa,” ujarnya.
Naga juga memperkenalkan kami kepada warga Toro Jaya lainnya. Teguh salah satunya. Nasib Teguh, sama dengan Sinaga. Pria 40 tahun ini, sudah menjual harta bendanya di Medan, Sumatera Utara. “Sampai kuali, periuk, kita jual untuk pindah ke sini,” kata dia.
Baru satu tahun Teguh berdiam di Dusun Toro Jaya. Saat ini, dia sedang mengelola kebun sawit yang dikuasainya, yang tak sampai 5 hektare. Meski dia sudah menetap di sana, tapi dia masih tercatat sebagai penduduk Medan. “Saya masih KTP (kartu tanda penduduk) Medan,” ujarnya.
Lalu mengapa bisa Teguh sampai ke Toro Jaya? Sekitar setahun yang lalu, ekonominya memburuk. Penghasilannya tak cukup untuk menghidupi keluarga. Saat itu pula, ada keluarganya yang merasa iba. “Awalnya keluarga yang ngajak ke sini. Dia bilang, lihatlah kondisi di situ,” sebutnya.
Teguh pun menurutinya. Saat itu, dia belum tahu bahwa kawasan tersebut masuk ke dalam TNTN. “Ya nggak tahu saya. Saya pindah saja ke sini,” imbuh Teguh.
Tapi kini, dia sudah tahu bahwa lahan tempatnya berkebun adalah kawasan TNTN. Namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. “Mau pindah ke mana? Rumah di kampung sudah dijual. Tak ada lagi harta yang tersisa di sana,” kata Teguh.
Dia juga tak tahu pasti siapa orang pertama yang berada di Dusun Toro Jaya. Tapi setahu dia, Dusun Toro Jaya adalah pengembangan lahan perkebunan warga Dusun Kuala Renangan. “Di sana dusun tuanya. Toro inilah lahan tempat pengembangan perkebunan dulunya, sampai sekarang ini,” ujar dia.
Serupa pula dengan nasib Mendrofa (50), warga Dusun Toro Jaya lainnya. Dia sudah tahu kalau lahan tempat dia berkebun, adalah TNTN. Namun kini, dirinya tak bisa berbuat banyak. Hanya satu permintaannya, biarkanlah dia hidup tenang dengan sebidang kebun yang sedang digarapnya.
“Kami selalu dibayang-bayangi rasa takut. Seakan-akan, kami akan diusir. Kalau kami diusir, ke mana kami akan pergi? Kami seperti belum merdeka,” katanya.
Setahun yang lalu, pernah dia bersama delapan keluarga lainnya, diusir dari rumah. Saat itu, rumahnya berdiri tepat di pinggir TNTN yang belum tersentuh. Pengusiran itu membuat dirinya dan anak istrinya trauma. Betapa tidak, petugas yang mengusirnya itu berlagak dengan kasar. Tak ada tawar-menawar.
“Kami diseret keluar rumah. Rumah kami dibakar. Semua peralatan habis. Hangus. Tak ada lagi yang tersisa,” ujarnya mengenang itu. Dia tak tahu pasti dari lembaga apa yang mengusir dan membakar rumah mereka. Pascapembakaran itu, dia bersama keluarganya, menumpang di rumah warga lainnya.
Di dusun itu, kami juga berjumpa dengan Kepala Dusun Toro Jaya, Suryadi. “Bagaimana? Sudah lihat-lihat di dusun ini? Tak ada hutan kan?” katanya saat dihampiri Riau Pos.
Dia tahu betul, bahwa kebun yang dikuasai oleh warganya, serta tempat mereka tinggal, adalah TNTN. Tapi apa boleh buat, itu semua sudah terlanjur. “Kami di sini korban,” ujar Suryadi. Korban ketidaktahuan atas status lahan yang dulu dia beli.
“Apalagi mau dikata. Kalau mau balik kampung, tidak mungkin. Tanah, rumah, harta, semuanya sudah dijual,” ujarnya.
Namun, dari pengakuan salah seorang warga Toro Jaya yang tak mau disebutkan namanya, dia membeli lahan perkebunan sawit dari salah seorang warga setempat yang mengaku sebagai tokoh adat. Dia tertarik dengan untuk membeli lahan itu, karena harganya relatif murah dibanding dengan harga lahan kebanyakan.
“Karena murah itu kami rela menjual harta benda kami di kampung. Banyak yang tertarik. Makanya pada pindah ke sini. Setelah dibeli, baru kami tahu kalau ini masuk dalam TNTN,” ujar pria berkulit gelap itu.
Lahan ini kata dia, tidak semuanya adalah milik warga. Ada juga orang-orang tertentu, seperti pengusaha dan cukong. Namun mereka bersembunyi di balik masyarakat.***(bersambung)
Laporan Tim Liputan Riau Pos: Saridal Maijar dan Monang Lubis