Desa Pangkalan Serai namanya. Letaknya di pelosok Kabupaten Kampar, Riau. Di sini tak ada sinyal. Tak ada jalan darat ke sana. Sungai satu-satunya jalur transportasi. Sehingga negeri ini tak pernah ditempuh mobil dan sepeda motor.

Di Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Desa Pangkalan Serai ini berada. Paling ujung bagian barat kecamatan. Berbatasan langsung dengan Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat.

Daerah ini cukup jauh dari pusat pemerintahan. Dari Bangkinang Kota sebagai pusat pemerintahan Kampar, akan memakan waktu sekitar 7 jam. Dari Pekanbaru, lebih kurang sama.

Saya mendatangi desa ini pada akhir 2017 lalu. Saat sampai di Desa Gema, mobil atau sepeda motor tak bisa lewat lagi. Sebab, untuk mencapai Desa Pangkalan Serai, harus menggunakan perahu. Tak ada jalan darat ke sana. Harus mengarungi Sungai Subayang.

Ada dua jenis perahu mesin yang biasa digunakan warga. Perahu kecil dinamai warga robin, dan perahu ukuran besar yang bernama jonson. Kalau ke Pangkalan Serai, ongkosnya Rp50 ribu per orang.

Untuk mencapai Desa Pangkalan Serai, ada beberapa desa yang dilalui. Mulai dari Desa Muaro Bio, Batu Sanggan, Tanjung Beringin, Gajah Bertelut, Aur Kuning, Tarusan, Subayang Jaya dan yang paling ujung Desa Pangkalan Serai. Perjalanan dengan perahu ini, akan memakan waktu empat jam.

Ketika sampai di Pangkalan Serai, terlihat sebuah jembatan gantung berwarna kuning yang melintang di atas sungai. Ini jadi penghubung antara dua dusun di desa ini. Terlihat seorang lelaki paruh baya melintasi jembatan itu.

Musbar (48) nama pria itu. Dia terlihat membawa peralatan penyadap karet, yang disandangnya di dalam tas lusuh. Di pinggangnya, diikatkan parang yang dibungkus sarungnya.

Dia terus berjalan menuju kampung di siang yang terik pada pertengahan November 2017 itu. Mukanya berkerut. Kepalanya menunduk, hanya fokus melihat jalan. Tampaknya Musbar kurang bersemangat.

Ternyata, dia tengah bersedih, sebab pohon karet miliknya, tak bisa disadap secara keseluruhan. “Semalam hujan. Jadi tidak bisa kita potong (sadap, red) semuanya. Masih basah,” kata Musbar.

Ucapan itu, membuatnya berhenti berjalan. Duduk di sebuah teras rumah warga. Barang-barang yang dibawanya, dilepas. Sepertinya, dia belum puas bicara. Dengan wajah masih menunduk, dia kembali bersuara.

“Apalagi sekarang harga karet murah. Palingan Rp4500 per kilogram,” katanya. Memang, harga Rp4500 itu, terbilang murah. Tapi wajar saja, siapa tauke yang mau membeli dengan harga mahal, sedangkan akses jalan tak ada.

Di musim penghujan ini kata Musbar, kebun hanya mampu menghasilkan 10 kilogram karet per hari dengan lahan 1 hektare. “Ekonomi memang lemah di sini. Rata-rata warga sama seperti saya nasibnya sekarang,” kata dia.

Maka tak heran ada warga yang sebelumnya bertani karet, sekarang berganti mencari kayu di hutan. “Memang ilegal. Tapi demi menghidupi keluarga, apa boleh buat,” sahutnya. Namun dia sendiri masih teguh, untuk tidak berbuat yang dilarang undang-undang itu.

Musbar terus mencurahkan isi hatinya. Dengan menunjuk ke arah sebuah kedai, dia berkata, bahwa harga-harga barang di desanya mahal. “Beras saja di sini harga Rp15 ribu per kilogram. Kalau di Lipatkain palingan Rp11 ribu per kilogram,” ujarnya.

Sedangkan penghasilannya, cukup rendah. Rata-rata, hanya Rp50 ribu per hari. “Untuk biaya kehidupan saja tidak mencukupi. Bahkan kami selalu berutang untuk menutupi kekurangan itu,” katanya.

Dia berharap betul kepada pemerintah, agar ada solusi untuk perekonomian di kampungnya ini. Salah satunya, untuk membangunkan jalan. “Untuk jalan sepeda motor saja, jadilah,” katanya. Bisa juga bantuan dalam bentuk bibit-bibit pertanian.

Listrik Antara Hidup dan Mati

Tak terasa, matahari sudah mulai condong ke arah barat. Sore mulai menyapa. Musbar pun melanjutkan langkah kaki menuju rumahnya.

Perlahan, langit mulai gelap. Satu per satu, lampu-lampu di rumah warga dihidupkan. Namun, lampu di rumah warga, tak bisa terang dengan stabil. Berkedip-kedip. Antara hidup dan mati.

“Oh, ini sudah biasa. Setiap hari berkedip-kedip begini,” kata Mardani, Sekretaris Desa Pangkalan Serai.

Sumber listrik ini bukanlah PLN. Melainkan, Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang dikelola oleh pemerintah desa setempat. “Kalau untuk lampu saja, bisalah untuk satu desa ini,” lanjutnya.

Di desa itu, ada 117 KK yang menggunakan sumber listrik itu. Warga sebanyak 573 jiwa, bergantung pada PLTMH. Namun, jumlah itu tak kuat untuk memberi tegangan yang sempurna. Sehingga arus tak maksimal.

“Dinamonya cuma 20 kilowatt. Kalau sudah musim kemarau, tenaganya makin kurang. Palingan cuma malam saja bisa hidupnya,” kata Mardani.

Dia menceritakan, PLTMH ini dibangun pada tahun 2000. Artinya, pembangkit listrik ini sudah berusia 17 tahun. Ini dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum RI. Sedangkan pemeliharaan dan pengelolaan, diserahkan kepada pemerintah desa.

“Sebenarnya usia PLTMH ini hanya 10 tahun. Tapi alhamdulilah sampai sekarang masih bisa dipakai, walaupun dinamonya sudah diganti,” sebutnya.

PLTMH ini berada tak begitu jauh dari pemukiman warga. Jaraknya hanya sekitar 300 meter. Ada sebuah sungai kecil yang memutar turbinnya.

“Harusnya, pembangkit listrik dibantu dengan tenaga suria. Kita harapkan adanya bantuan pembangkit tenaga surya ini dari pemerintah,” sebutnya.

Untuk biaya pengelolaan ini jelas Mardani, dipungut dari warga. Di mana, jika setiap rumah hanya menggunakan lampu saja, maka membayar 15.000 per bulan. Namun, kalau ditambah dengan satu televisi, maka ditambah pula biayanya Rp10.000. Kalau ada kulkas, ditambah lagi Rp15.000.

“Ini untuk biaya pemeliharaan PLTMH. Untuk biaya operatornya juga,” kata dia.

Inginkan Jalan dan Sinyal

Desa Pangkalan Serai, cukup berbeda dibandingkan daerah-daerah lainnya. Daerah ini tak pernah ditempuh oleh mobil atau sepeda motor. Karena jalan itu benar yang tak ada ke sana.

Memang desa ini, dikelilingi oleh kawasan hutan Suaka Margasatwa (SM) Rimbang Baling. Sehingga tak boleh disentuh sedikit pun. Apalagi membangun jalan. Tapi jika pemerintah mau, kawasan SM bisa diputihkan untuk lahan jalan saja.

Khusus untuk desa ini, berada di kawasan areal peruntukan lain (APL). “Jalan sudah dari dulu sekali kami minta. Sudah pernah kami membuat pernyataan, kalau jalan dibuat, kami tidak akan mengganggu hutan,” kata Mardani, Sekdes Pangkalan Serai.

Jika jalan dibangun kata Mardani, akan mendongkrak perekonomian warga. Kebutuhan warga, akan mudah didapatkan. Harga-harga barang, bisa stabil. Hasil perkebunan petani, bisa dijual dengan mahal.

“Untuk ongkos barang saja, 1.500 per kilogram jika diupah dengan perahu,” katanya.

Seperti membangun sebuah rumah permanen misalnya. Semen katanya, dibeli seharga Rp65 ribu per karung di Gema. Namun untuk ongkos angkut ke desanya, bisa mencapai Rp75 ribu per karung.

“Makanya di sini lebih banyak rumah semi permanen. Kalau mau bangun rumah tipe 36, sama biayanya dengan membangun rumah tipe 70,” sebut Mardani.

Apalagi, dengan menggunakan perahu sebagai transportasi utama, akan memakan waktu lama. Jika ada kepentingan mendadak akan sulit. Seperti mengantarkan orang sakit yang dalam kondisi darurat.

“Kalau ada yang sakit, ya kami bawa pakai perahu. Memang ada bidan desa di sini, tapi peralatannya terbatas,” sebutnya.

Samsu (40), warga setempat juga bercerita bahwa pernah ada warga di desa itu meninggal dunia karena terlambat mendapatkan pertolongan. Saat itu, warga hendak melahirkan.

“Yang meninggal dunia ini ibu dan anak dalam kandungan. Pukul 01.00 WIB dinihari dibawa ke Puskesmas. Tapi sebelum sampai, ibu dan anak dalam kandungannya meninggal di perahu,” sebutnya.

Semenjak itu, jika ada warga yang hendak melahirkan, atau sakit, lebih cepat untuk dibawa ke Lipatkain. “Kalau sudah diketahui tidak bisa melahirkan normal, maka jauh-jauh hari sudah pindah ke Lipatkain, supaya dekat dapat pertolongan medis,” kata Samsu.

Selain itu, warga juga mengharapkan adanya jaringan seluler di desa itu. Sebab, komunikasi sudah menjadi kebutuhan utama. “Kalau ada kemalangan di kampung, susah kita menghubungi keluarga di luar,” lanjut Samsu.

Kalau untuk SMS, masih bisa di desa itu. Namun harus berjalan kaki ke puncak Bukit Salo, yang jaraknya sekitar 3 km. “Ya harus jalan kaki kita setengah jam, baru dapat sinyal,” sebut.

Begitu juga dengan pemerintahan desa. Sulit untuk berkomunikasi dengan pihak Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Sehingga informasi akan lambat didapat.

Hanya Satu Guru PNS

Sekretaris Desa Pangkalan Serai, Mardani menyebut, di desa itu hanya ada satu sekolah dasar (SD). SD Negeri 016 namanya. Di sekolah inilah semua anak-anak warga menuntut ilmu.

Namun sayang, di SD ini hanya ada satu orang guru PNS. Selebihnya, ada yang honor komite, ada juga yang THL kabupaten. “Kalau sudah tamat SD, anak-anak keluar kampung untuk melanjutkan pendidikan,” katanya.

Sedangkan SMP, anak-anak melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Subayang Jaya. Masih di aliran sungai Subayang. “Kalau ke sekolah, muridnya naik perahu,” sebut Mardani.

Ketika melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, orangtua harus rela berpisah dengan anak-anaknya. Sebab, adanya hanya di Desa Gema, yakni SMAN 1 Kampar Kiri Hulu.

“Kalau sekolah di sana, sudah ngekos. Tidak bisa balik hari. Palingan sekali seminggu pulangnya,” sebut dia.

Oleh karena itu, atas nama masyarakat desa, Mardani berharap betul adanya perhatian Pemkab Kampar dengan desanya ini.

“Kampanye dulu, Pak Azis (Bupati Kampar, red) sudah sampai ke sini. Beliau janji akan ada perhatian ke sini. Makanya beliau menang, suaranya 80 persen di sini,” sebutnya.

Kalau disebut apa yang dibutuhkan oleh warga, tidak terhitung. Namun, yang mendasar sekali ada bantuan untuk mendongkrak ekonomi warga. Begitu juga dengan jalan dan jaringan seluler.***

Laporan: Saridal Maijar – Wartawan Riau Pos

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *